Kenyataan Umat Islam : Keadaan Ad-Dakhn
MENGAPA HANYA MANHAJ SALAFI SAJA
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Sangat banyak dalil-dalil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta perkataan para sahabat yang menjelaskan akan pujian terhadap orang yang mengikuti jalan As-Salaf dan celaan terhadap orang yang tidak melakukan hal demikian. Dan ini merupakan perkara-perkara yang menguatkan kewajiban mengikuti manhaj Salaf serta menegaskan bahwa dia merupakan jalan keselamatan dan kebahagian hidup. Di sini kami melemparkan beberapa belas anak panah kepada orang yang ragu lagi bimbang untuk membentangkan jalan kaum mukminin dari pohon keyakinan sehingga memetik manisnya iman dari atas pohon yang subur dan berteduh dibawah kerindangannya dalam buaian dan wanginya.
Pertama : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [at-Taubah/9 : 100]
Sisi pendalilannya adalah, Rabb sekalian manusia telah memuji orang yang mengikuti sebaik-baik manusia maka jelaslah bahwa mereka (Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar ) jika mengatakan satu perkataan lalu diikuti oleh orang yang mengikutinya maka haruslah hal itu merupakan hal yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhoan, dan seandainya mengikuti mereka tidak memiliki keistimewaan dari selain mereka maka dia tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhoan.
Kedua : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” [Ali-Imran/3 :110]
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keutamaan atas sekalian umat-umat yang ada dan hal ini menunjukkan keistiqomahan mereka dalam setiap keadaan ; karena mereka tidak menyimpang dari syari’at yang terang benderang, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mempersaksikan bahwa mereka memerintahkan setiap kemakrufan (kebaikan) dan mencegah setiap kemungkaran, hal itu menunjukkan dengan pasti bahwa pemahaman mereka adalah hujjah atas orang yang setelah mereka sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mewarisi bumi dan seisinya.
Jika ditanya : Ini umum pada umat Islam seluruhnya tidak khusus untuk generasi sahabat saja.
Saya jawab : Bahwa merekalah orang yang pertama yang menjadi obyek penderita, dan tidak masuk dalam konteks ini orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan kias (analogi) atau dengan dalil sebagaimana dalil pertama. Dan seandainya konteksnya umum -inipun benar- maka para sahabat adalah yang pertama masuk dalam keumuman konteks ayat, karena mereka orang pertama yang menerima dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara (langsung) sedang mereka adalah orang-orang yang langsung berkenaan dengan wahyu, sehingga mereka lebih pantas dimasukkan dalam konteks ayat daripada selainnya karena sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan sebagai sifat mereka tidak memiliki sifat -sifat tersebut dengan sempurna kecuali mereka. Dan kesesuaian sifat terhadap kondisi yang nyata merupakan bukti bahwa mereka lebih pantas dari selainnya untuk dipuji. Hal itu dijelaskan oleh :
Ketiga : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Apakah keutamaan yang ditetapkan kepada generasi sahabat ini ada pada warna kulit atau bentuk tubuh atau harta mereka … dst ?
Tidak akan ragu bagi orang berakal yang telah memahami Al-Kitab dan As-Sunnah bahwa bukan itu semua yang dimaksud ; karena tolak ukur keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan hati dan amal shalih, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu” [al-Hujuraat/49 : 13]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melihat kepada bentuk kalian dan harta kalian akan tetapi melihat kepada hati-hati kalian dan amalan kalian” [Hadits Shahih Riwayat Muslim 16/121 -Nawawiy]
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melihat kepada hati-hati para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkannya sebagai sebaik-baik hati diantara para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian Allah memberikan kepahaman yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang menyusul mereka, oleh karena itu apa yang para sahabat pandang sebagai kebaikan maka dia adalah kebaikan di sisi Allah Subahanahu wa Ta’ala dan apa yang mereka pandang sebagai kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abdullah bin Mas’ud berkata : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melihat kepada hati-hati para hambaNya dan mendapatkan hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebaik-baik hati para hamba lalu memilihnya untuk dirinya dan diutus sebagai pembawa risalahNya, kemudian melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkan hati-hati para sahabat beliau sebaik-baik para hamba lalu menjadikan mereka sebagai pembantu NabiNya, mereka berperang di atas agamaNya, maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dia baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang mereka pandang kejelekan maka dia adalah kejelekan di sisi Allah Subahanhu wa Ta’ala. [2]
Dari Abu Juhaifah, beliau berkata.
قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَلْ عِنْدَكُمْ كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللَّهِ أَوْ فَهْمٌ أُعْطِيَهُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ أَوْ مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قَالَ قُلْتُ فَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Saya telah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : ‘Apakah kalian memiliki kitab ? Beliau menjawab : ‘Tidak kecuali Kitabullah atau pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim atau apa yang ada di lembaran ini [3]. Saya bertanya lagi : Apa yang ada di lembaran tersebut ? Beliau menjawab ; Diyat, pembebasan tawanan dan (pernyataan) bahwa seorang muslim tidak di bunuh dengan sebab orang kafir” [Hadits Shahih Riwayat Bukhari 1/204 – Al-Fath]
Dengan demikian maka pemahaman para sahabat terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan hujjah atas orang yang setelahnya sampai akhir umat ini, oleh karena itu mereka menjadi saksi Allah Subhanahu wa Ta’ala dipermukaan bumi ini, hal ini dijelaskan berikut.
Keempat : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” [al-Baqarah/2 : 143]
Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan mereka umat pilihan dan umat yang adil karena mereka adalah umat yang paling utama dan paling adil dalam perkataan, perbuatan dan kehendaknya, sehingga mereka berhak menjadi para saksi atas manusia dan dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji mereka, mengangkat nama mereka dan menerima mereka dengan baik. Dan saksi yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah yang bersaksi dengan ilmu dan kebenaran sehingga mengkhabarkan kebenaran yang berdasarkan ilmunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)” [az-Zukhruf/43 : 86]
Apabila persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama merupakan hujjah atas orang yang setelah mereka, karena ayat ini telah menjelaskan penunjukkan tersebut secara mutlak dan umat Islam tidak memutlakkan sifat adil pada satu generasi kecuali kepada generasi sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah memberikan sifat adil pada mereka secara mutlak dan menyeluruh sehingga mereka mengambil dari sahabat secara riwayat dan ilmu seluruhnya tanpa kecuali. Berbeda dengan selain sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak memberikan sifat adil ini kepada mereka kecuali yang telah diakui keimanan dan keadilannya. Kedua hal ini tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika dia berjalan di atas jejak para sahabat.
Maka jelaslah dengan demikian bahwa pemahaman para sahabat merupakan hujjah atas selainnya dalam pengarahan nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah oleh karena itu diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka, hal ini dijelaskan dalam.
Kelima: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” [Luqman/31 : 15]
Setiap sahabat adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka hidayah (petunjuk) untuk mendapatkan perkataan yang baik dan amalan shalih dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ ﴿١٧﴾ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” [az-Zumar/39 : 17-18]
Maka wajib mengikuti jalan mereka dalam memahami agama Allah baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’a mengancam orang yang tidak mengikuti jalan mereka dengan neraka jahannam seburuk-buruknya tempat kembali, hal ini dijelaskan.
Keenam : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [an-Nisaa/4 : 115]
Sisi pendalilannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin sehingga menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syari’at adalah wajib dan menyelisihinya adalah kesesatan.
Jadi dikatakan : Ini adalah Istidlal (pendalilan) dengan dalil khithaab dan hal itu bukanlah hujjah, maka kami katakan ; Dia itu dalil, dan dibawah ini akan dijelaskan dalilnya.
a. Dari Ya’la bin Umaiyah beliau berkata : Saya telah bertanya kepada Umar.
“Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” [an-Nisaa/4 : 101]
Padahal manusia telah aman ? Umar berkata : “Saya telah heran seperti yang kamu herankan, lalu saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut dan beliau menjawab :
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Shadaqah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kalian maka terimalah shadaqahNya” [Hadits Riwayat Muslim 5/196 – An-Nawawiy]
Kedua sahabat ini yaitu Ya’la bin Umaiyah dan Umar bin Al-Khathab memahami dari ayat ini bahwa qashar shalat terkait dengan syarat takut, sehingga jika manusia telah aman wajib menyempurnakan shalat dan ia adalah dalil khithaab yang dinamakan juga dengan Mafhum Mukhalafah.
Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam menyetujui pemahamannya akan tetapi beliau jelaskan kepada Umar bahwa hal itu tidak dipakai disini ; karena Allah Subahanahu wa Ta’ala telah bershadaqah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya tersebut.
Seandainya pemahaman Umar tidak benar tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal tidak mendiamkannya kemudian mengarahkan pengarahan ini dan ada pepatah yang mengatakan : Taujih (pengarahan) bagian dari penerimaan.
b. Dari Jabir dari Ummu Mubasyir bahwa dia telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di hadapan Hafshah.
“Tidaklah masuk neraka seorangpun -insya Allah- dari Ashhab Syajaroh yang berbaiat dibawahnya”
Dia berkata : benar wahai Rasulullah, lalu beliau menghardiknya lalu berkata Hafshah :
“Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu” [Maryam/19 : 71]
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Allah telah berfirman.
“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam naar dalam keadaan berlutut” [Maryam/19 : 72]
Di sini Ummul Mukminin Hafshah memahami dari ayat ini bahwa semua manusia akan masuk neraka, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan hal itu dengan lanjutan ayat tersebut yaitu :
“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa” [Maryam/19 : 72]
Pada awalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui kebenaran pemahaman Hafshah, kemudian menjelasakan bahwa konteks kata ” tidak masuknya neraka” (dalam hadits itu) berbeda dengan konteks kata “wurud” (datangnya orang ke neraka yan ada dalam ayat tersebut) dan menjelaskan bahwa yang pertama itu khusus untuk orang-orang shalih yang bertaqwa yakni mereka tidak merasakan adzab neraka dan masuk ke syurga dengan melewatinya tanpa disentuh sedikitpun siksaan dan adzab, sedangkan selain mereka tidak demikian.
Maka jelaslah Alhmadulillah bahwa dalil khithaab adalah hujjah yang diakui dan dapat disandarkan dalam pemahaman.
Cukuplah bagimu bahwa firman Allah :
“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min” [an-Nisaa/4 : 115]
Bukanlah dalil khithab akan tetapi hal itu merupakan argumentasi dengan Taqsiimin Aqliy (pembagian secara logika), karena tidak ada pilihan yang ketiga antara mengikuti jalan orang-orang mukmin dan mengikuti selain jalan mereka.
Maka ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ikut selain jalan mereka maka wajiblah mengikuti jalan mereka, ini sudah sangat jelas sekali.
Jika ada yang membantah : Ada di antara dua pilihan tersebut pilihan yang ketiga yaitu tidak ikut kedua-keduanya.
Maka saya jawab : Ini merupakan pendapat yang sangat lemah sekali ; karena tidak mengikuti keduanya sama sekali berarti mengikuti jalan selain mereka (orang-orang mukmin) secara pasti karena firman Allah :
“Maka tidak ada sesudah kabenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)” [Yunus/10 : 32]
Jelaslah di sini bahwa hanya ada dua pilihan dan tidak ada pilihan yang ketiga. Jika dikatakan : Kami tidak setuju bahwa mengikuti selain jalan orang-orang mukmin berhak mendapat ancaman tersebut (dalam ayat) kecuali dibarengi dengan penentangan terhadap Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehinnga hal itu tidak menunjukkan pengharaman mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi harus ada penentangan Rasulnya.
Jawabannya ; Telah diketahui bahwa menentang Rasul diharamkan secara tersendiri dan terpisah karena adanya peringatan atas hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya” [al-Anfaal/8 : 13]
Maka ayat ini menunjukkan ancaman tersebut ada untuk setiap dari keduanya secara tersendiri dan pensifatan ini (mengikuti selain jalan kaum mukminin) termasuk yang mendapat ancaman secara tersendiri dan hal itu ditinjau dari hal-hal berikut ;
a. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak diharamkan secara tersendiri maka tidak diharamkan bersama penentangan seperti penyelamat yang lainnya.
b. Mengikuti selain jalan kaum mukminin seandainya tidak termasuk dalam ancaman tersebut secara tersendiri maka (pensifatan tersebut) hanyalah sia-sia dan tidak ada faedahnya untuk disebutkan, maka jelaslah bahwa penghubungannya (dalam konteks ayat tersebut) adalah dalil tersendiri seperti yang awal.
Jika ada yang mengatakan : Kami tidak sependapat jika ancaman tersebut berlaku untuk semua orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin secara mutlak akan tetapi hal itu berlaku setelah jelas baginya petunjuk, karena Allah menyebut penentangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mensyaratkan padanya kejelasan petunjuk kemudian dihubungkan dengan mengikuti selain jalan kaum mukminin, hal itu menunnjukkan bahwa kejelasan petunjuk merupakan syarat dalam ancaman terhadap orang yang mengikuti selain jalan kaum mukminin.
Jawabanya : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min” [an-Nisaa/4 : 115]
Ma’thuf (disandarkan/dihubungkan) dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya” [an-Nisaa/4 : 115]
Maka hal itu menunjukkan bahwa kait (syarat) pada awal ayat bukanlah syarat bagi yang kedua akan tetapi kata hubung tersebut hanya untuk menunjukkan kesatuan dan kesamaan dalam hukum yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” [an-Nisaa/4 : 115]
Hal ini menunjukkan bahwa setiap sifat dari kedua sifat tersebut mendapatkan ancaman tersendiri.
Hal ini di bawah ini dapat menunjukkannya.
Kejelasan petunjuk (kebenaran) merupakan syarat dalam (hukum) penentangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena orang yang tidak mengetahui petunjuk (kebenaran) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikatakan menentang sedangkan mengikuti jalan kaum mukminin merupakan petunjuk (kebenaran) itu sendiri.
Konteks ayat ini adalah untuk mengagungkan dan memuliakan kaum mukminin, maka seandainya mengikuti jalan mereka disyaratkan dengan datangnya kejelasan petunjuk (kebenaran) maka tidaklah mengikuti jalan mereka ini lantaran sebagai jalan mereka akan tetapi karena telah datang kejelasan petunjuk (kebenaran) dan jika demikian tidak ada faedah mengikuti jalan mereka.
Dengan demikian jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mukminin merupakan jalan keselamatan dan pemahaman para sahabat dalam agama adalah hujjah atas selain mereka, sehingga orang yang menentangnya maka telah menghendaki kesesatan dan berjalan di tempat yang berbahaya, maka cukuplah Jahanam (neraka) sebagai sejelek-jeleknya tempat tinggal dan kembalinya. Inilah kebenaran maka berpegang teguhlah kepadanya dan tinggalkanlah jalan-jalan yang menyimpang, dan hal itu juga dijelaskan oleh.
Ketujuh : Firman Allah Subhnahu waa Ta’ala
” Barangsiapa berpegang teguh kepada Dienullah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus“.[Ali Imran/3 : 101]
Para sahabat merupakan orang-orang yang berpegang pada tali Allah, karena Allah adalah wali orang-orang yang berpegang teguh kepadaNya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu,maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong“.[al-Hajj/22 :78]
Dan telah diketahui kesempurnaan perlindungan dan pertolongan Allah kepada mereka yang menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka adalah orang-orang yang memberi petunjuk dengan persaksian Allah dan menyampaikan kebenaran merupakan satu kewajiban menurut syariat, akal dan fitrah, oleh karena itu menjadikan mereka sebagai imam-imam bagi kaum mutaqin (orang-orang yang bertaqwa ) karena kesabaran dan keyakinan mereka dan itu dijelaskan oleh:
Kedelapan : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan jadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa“. [al-Furqan/25 : 74]
Setiap orang yang bertaqwa akan diikuti oleh mereka sedangkan ketaqwaan adalah wajib sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam banyak ayat yang sulit untuk memaparkannya pada kesempatan ini, sehingga jelaslah kewajiban mengikuti mereka dan penyimpangan dari jalan meraka merupakan pintu fitnah dan musibah.
Kesembilan : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami“.[as-Sajadah/32 : 24]
Sifat ini diberikan untuk para sahabat Musa dimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan Bahwa Dia telah menjadikan mereka sebagai imam-imam yang diikuti oleh orang yang setelah mereka dengan kesabaran dan keyakinannya, karena keimaman (kepemimpinan) di dunia dapat dicapai dengan kesabaran dan keyakinan.
Sudah pasti para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak dan pantas mendapat sifat ini dari para sahabat Musa tersebut karena mereka lebih sempurna keyakinan dan lebih besar kesabarannya dari umat yang lain sehingga mereka lebih pantas memegang jabatan keimamam ini. Hal ini telah ditetapkan juga oleh persaksian Allah dan pujian Rasulullah terhadap mereka. Kalau begitu mereka adalah orang yang paling pintar dari umat ini sehingga kita diwajibkan untuk merujuk kepada fatwa dan pendapat mereka serta terikat dengan pemahaman mereka terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah secara amalan, akal dan syariat, wabillahi taufiq.
Kesepuluh : Dari Abi Musa Al-Asy’ariy beliau berkata :
“Kami sholat maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kami berkata : Semalam kita duduk-duduk sampai shalat Isya bersama beliau lalu kami duduk sampai Rasulullah menemui kami dan berkata ; Kalian masih di sini ? kami menjawab : wahai Rasulullah kami telah shalat bersamamu kemudian kami berkata : kami akan tetap duduk sampai shalat Isya bersamamu, beliau menjawab ; bagus atau benar. Abu Musa berkata : kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu sering beliau lakukan lalu bersabda : bintang-bintang adalah penjaga langit, jika hilang bintang-bintang tersebut maka datanglah bencana padanya dan saya adalah penjaga para sahabatku maka jika saya pergi datang kepada mereka apa yang dijanjikan dan sahabatku adalah penjaga umatku jika telah pergi sahabatku datanglah kepada umat ku apa yang dijanjikan” [Hadits Riwayat Muslim 16/82 -An-Nawawiy]
Rasulullah menjadikan kedudukan para sahabatnya dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam sebagaimana kedudukan beliau kepada para sahabatnya dan sebagaimana kedudukan bintang terhadap langit.
Jelaslah Tasybih Nabawiy (perumpamaan Nabi) ini menjelaskan kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama Islam sama dengan kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka karena Nabi adalah penjelas Al-Qur’an sedangkan para sahabatnya adalah penyampai dan penjelas beliau bagi umat. Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang maksum yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan petunjuk dan hidayah, sedangkan para sahabatnya adil yang tidak berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu kecuali kebenaran.
Dan demikian juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai alat pelempar syaitan ketika mencuri khabar sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka, syaithan-syaithan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan) ; maka ia dikejar-kejar oleh suluh api yang cemerlang” [ash-Shaaffat/ : 9-10]
Dan firmanNya.
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaithan” [al-Mulk/67 : 5]
Demikian juga para sahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan ta’wil orang-orang bodoh, ajaran batil dan penyimpangan orang yang menyimpang yang mengambil sebagian Al-Qur’an dan membuang sebagiannya, mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok. Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” [an-Nahl/16 : 16]
Dan firmanNya.
“Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut” [al-An’am/6 :97]
Demikian juga para sahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri dari kegelapan syahwat dan syubhat, maka orang yang berpaling dari pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak terlihat lagi.
Dengan pemahaman para sahabat, kita membentengi Al-Kitab dan As-Sunnah dari kebid’ahan syaithan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan ta’wilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allah dan RasulNya. Sehingga pemahaman para sahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah tentunya pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka dan ini mustahil.
Kesebelas : Hadits-hadits yang menjelaskan kewajiban untuk mencintai para sahabat dan mencela orang yang membenci mereka -dan merupakan kesempurnaan dalam mencintai mereka adalah dengan mencontoh jejak langkah dan berjalan di atas petunjuk mereka dalam memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah- sangat banyak, diantara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Janganlah mencela sahabatku karena seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud tidak akan menyamai satu mud atau setengah mudnya shadaqah mereka” [4]
Keutamaan ini bukan saja dari sisi mereka telah melihat, berdampingan dan bersahabat dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hal itu karena ittiba’ dan pengamalan mereka terhadap sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian besar. Pantaslah jika pemahaman mereka dijadikan jalan petunjuk dan pendapat-pendapat mereka dijadikan kiblat tempat seorang muslim menghadapkan wajahnya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dan hal itu jelas -jika dilihat- sebab turunnya hadits ini dimana orang yang dilarang tersebut adalah Khalid bin Al-Walid dan beliau seorang sahabat, maka apabila satu mud sebagian sahabat atau setengahnya lebih baik di sisi Allah dari emas sebesar gunung uhud lantaran keutamaan dan terdahulunya mereka dalam Islam, maka tidak diragukan lagi adanya perbedaan yang besar antara sahabat dengan orang yang setelah mereka. Kalau keadaannya seperti ini bagaimana mungkin pemahaman orang yang memiliki akal yang cemerlang dalam agama Allah ini tidak menjadi jalan petunjuk yang membawa kepada jalan yang lebih lurus ?
Keduabelas : Diantaranya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin dan gigitlah dengan gigi gerahammu” [Telah lewat Takhrijnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dengan paham para sahabatnya sebagaimana telah lalu penjelasannya.
Diantara faedah berharga dari hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menyebut sunnahnya dan sunnah para Khulafaur Rasyidin berkata :
Dalam rangka untuk menunjukkan bahwa sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Rasyidin adalah satu manhaj dan hal itu hanya terjadi dengan pemahaman yang shahih dan jelas yaitu berpegang teguh kepada sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabatnya.
Ketigabelas : Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mensifatkan manhaj Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) dan Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang dimenangkan) :
مَا أَنَا عَلَيْهِ اَلْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Apa yang aku ada atasnya sekarang dan para sahabatku” [Telah lalu Takhrijnya]
Ada yang mengatakan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya setelah beliau adalah manhaj yang tidak ada kebatilannya akan tetapi apa dalilnya kalau manhaj salafi adalah pemahaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya ?
Jawaban atas pertanyaan ini ada dari dua sisi :
Sesungguhnya pemahaman-pemahaman yang disebutkan tadi adanya setelah zaman Nabi dan kekhilafahan Rasyidah dan tentunya tidaklah dinisbatkan yang terdahulu kepada yang setelahnya akan tetapi sebaliknya, sehingga jelaslah kelompok yang tidak berjalan dan mengikuti jalan-jalan kesesatan adalah kelompok yang berada pada asalnya.
Kami tidak menemukan pada kelompok-kelompok sempalan umat Islam yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlul Sunnah wal Jama’ah dari kalangan pengikut As-Salaf Ash-Shalih Ahlul Hadits.
Adapun Mu’tazilah bagaimana bisa sesuai dengan para sahabat sedangkan tokoh-tokoh besar mereka mencela tokoh besar sahabat dan merendahkan keadilan mereka serta menuduh mereka sesat seperti Al-Washil bin Atho’ yang menyatakan : Seandainya Ali, Tholhah dan Az-Zubair bersaksi maka saya tidak menghukum karena persaksian mereka.[Lihat Al-Farqu Bainal Firaq hal.119-120]
Adapun Khawarij telah keluar dari agama dan menyempal dari jama’ah kaum muslimin karena diantara pokok-pokok dasar ajaran mereka adalah mengkafirkan Ali dan anaknya, Ibnul Abbas, Utsman, Thalhah, Aisyah dan Mu’awiyah dan tidaklah berada diatas sifat-sifat para sahabat orang yang melecehkan dan mengkafirkan mereka.
Adapun Shufiyah, mereka meremehkan warisan para Nabi dan merendahkan para penyampai Al-Kitab dan As-Sunnah serta mensifatkan mereka sebagai para mayit. Seorang tokoh besar mereka berkata : Kalian mengambil ilmu kalian, dari mayit sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang maha hidup yang tidak mati (Allah) langsung. Oleh karena itu mereka mengatakan -dengan mulut-mulut mereka untuk menolak sanad hadits- : Telah mengkhabarkan kepada saya hati saya dari Rabb.
Adapun Syi’ah, mereka telah meyakini bahwa para sahabat telah murtad setelah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja, lihatlah Al-Kisyiy -salah seorang imam mereka- meriwayatkan satu riwayat dalam kitab Rijalnya hal. 12,13 dari Abu Ja’far, bahwa dia telah menyatakan : Semua orang murtad setelah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga, saya berkata : Siapakah ketiga orang tersebut ? Beliau jawab : Al-Miqdaad bin Al-Aswaad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisiy.
Dan meriwayatkan dalam hal.13 dari Abu Ja’far, dia berkata : Kaum Muhajirin dan Anshor telah keluar (dari agama) kecuali tiga. [Lihat Al-Kaafiy karya Al-Kulaniy, hal.115]
Lihat juga Khumaini -tokoh besar mereka di zaman ini- mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar dalam kitabnya Kasyful Asroor hal, 131, dia menyatakan : Sesungguhnya syaikhani (Abu Bakar dan Umar) … dan dari sini kita dapati diri kita terpaksa menyampaikan bukti-bukti penyimpangan mereka berdua yang sangat jelas terhadap Al-Qur’an dalam rangka membuktikan bahwa kedua telah menyelisihinya.
Dan berkata lagi hal 137 : … dan Nabi menutup matanya (wafat) sedangkan kedua telinga beliau ada ucapan-ucapan Ibnul Khaththab yang tegak diatas kedustaan dan bersumber dari amalan kekufuran, kezindikan dan penyelisihan terhadap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an yang mulia.
Adapun Murji’ah, mereka berkeyakinan bahwa iman orang-orang munafiq yang berada dalam kenifakan sama seperti imannya Assabiqunal Awalun (orang-orang pertama yang masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Bagaimana mereka semua ini bersesuaian dengan para sahabat sedangkan mereka :
Mengkafirkan orang-orang pilihan dari kalangan mereka
Tidak menerima sedikitpun yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam aqidah dan hukum syari’at.
Mengikuti peradaban Rumawi dan filsafat Yunani
Kesimpulannya
Kelompok-kelompok ini semua ingin menolak para saksi kita terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan mencela mereka sedangkan mereka lebih pantas dicela dan mereka ini adalah kaum zindiq.
Dengan demikian jelaslah bahwa pemahaman salaf adalah manhaj Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah dalam konsep pemahaman, penerimaan dan Istidlal (pengambilan hukum).
Sedangkan orang-orang yang mencontoh para sahabat adalah orang-orang yang beramal dengan riwayat-riwayat (hadits) yang shahih dan otentik dalah hukum syariat, dengan jalan dan pemahaman sahabat, dan ini merupakan jalan hidupnya Ahlul Hadits, bukan jalannya ahlul bid’ah dan hawa. Sehingga benar dan kuatlah apa yang telah kami paparkan ketika kami jelaskan wujud keberhasilan mereka dalam berhukum kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keberhasilan orang yang mengambil sunnah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin setelah beliau.
[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_______
Footnote.
[1]. Tertulis dalam banyak buku hadits ini degan lafadz : “Sebaik-baiknya generasi”. Saya mengatakan bahwa lafadz-lafadz ini lemah dan yang benar apa yang telah saya tulis ini.
[2]. Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Ath-Thoyalisiiy dalam musnadnya hal.23 dan Al-Khotib Al-Baghdadiy dalam Al-faqih wal Mutafaqqih I/166 secara mauquf dengan sanad yang hasan. Kata-kata terakhir dari atsar ini telah masyhur sebagai hadits marfu’ dan itu tidak benar sebagaimana telah dijelaskan para imam dan itu hanyalah dari perkataan Ibnu Mas’ud, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Al-Bid’ah wa Atsaruha fil Umat, hal.21-22 silahkan dilihat.
[3]. Ini adalah nash yang cukup tegas dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib menghancurkan kebatilan syiah rafidhah yang menisbatkan diri mereka kepada keluarga Nabi (ahlil bait) secara dzolim dan menipu ketika mengaku-ngaku bahwa ahlil bait memiliki kitab yang berukuran tiga lipat dari Al-Qur’an yang berada di tangan kita yang mereka namakan Mushaf Fatimah. Lihat Bughyatul Murtaab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal.321-322
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhariy 7/21 – Al-Fath dan Muslim 16/92-93 – An-Nawawiy dari hadits Abi Said Al-Khudriy. Dan disebutkan dalam Shahih Muslim (16/92 – An-Nawawiy) dari hadits Abi Hurairah dan ini satu kesalahan sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Al-Baihaaqiy dalam Al-Madkhol Ila Sunnah hal. 113 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy 7/135, untuk lebih jelasnya lihat kitab : Juz Muhammad bin Ashim An-Syuyukhihi yang saya tahqiq (13)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1826-mengapa-manhaj-salafi-saja.html